MASALAH TAWURAN ANTAR PELAJAR DI INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN TEORI SOSIOLOGI SERTA PENYELESAIANNYA DALAM PERSPEKTIF JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran guru
sebagai sumber belajar merupakan peran yang sangat penting. Peran sebagai
sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran. Kita bisa
menilai baik atau tidaknya seorang guru hanya dari penguasaan materi pelajaran.
Dikatakan guru yang baik manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan
baik, sehingga ia benar-benar berperan sebagai sumber belajar bagi anak
didiknya. Apapun yang ditanyakan siswa yang berkaitan dengan materi pelajaran yang
sedang diajarkannya, ia akan bisa menjawab dengan penuh keyakinan.
Sebaliknya, dikatakan guru yang kurang baik
manakala ia tidak paham tentang materi yang diajarkannya. Ketidakpahaman
tentang materi pelajaran biasanya ditunjukan dengan perilaku-perilaku tertentu,
misalnya teknik penyampaian materi pelajaran yang monoton, ia lebih suka duduk
dikursi sambil membaca, suaranya lemah, tidak berani melakukan kontak mata
dengan siswa, miskin dengan ilustrasi dan masih banyak contoh yang lainnya.
Perilaku guru yang demikian bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan pada diri
siswa, sehingga guru akan sulit mengendalikan kelas.
Jika kejadian tersebut masih saja terjadi kepada para
pendidik maka sudah barang tentu hasil yang diharapkan dari proses pembelajaran
itu tidak akan tercapai. Hal yang diperoleh
bisa saja malah sebaliknya, para siswa menjadi malas belajar, bersifat arogan,
berbuat kejahatan dan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Kejahatan yang
dilakukan bisa mencuri, merampok dan yang paling sering terjadi akhir-akhir ini
adalah tawuran antar pelajar
Tawuran Sepertinya
sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia, sehingga jika mendengar kata
tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Berita tawuran
antar pelajar sekolah sering menghiasi media massa. Tawuran antar pelajar
sekolah maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya
geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat.
Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa
mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika
masyarakat itu takut dengan geng kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak
melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Biasanya permusuhan antar
sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil
tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan.
Tawuran antar
pelajar merupakan fenomena sosial dan menjadi masalah sosial yang sudah
dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang
menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang
menginjak usia remaja. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam
mengenai masalah pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya dilihat dari sudut pandang
sosiologis.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan tawuran antar pelajar ?
2.
Bagaimana tawuran
antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor penyebabnya ?
3.
Pandangan teori sosiologi terhadap masalah sosial tawuran
antar pelajar sekolah ?
4.
Bagaimana solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah
tawuran anatar pelajar?
C.
Tujuan
Penulisan
Dari hasil
identifikasi rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui :
1.
Apa yang dimaksud dengan tawuran, remaja atau pelajar.
2.
Bagaimana tawuran
antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor penyebabnya.
3.
Pandangan teori sosiologi terhadap masalah sosial tawuran
antar pelajar sekolah.
4.
Solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran antar
pelajar sekolah.
D.
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memberi
manfaat bagi masyarakat berupa pengetahuan untuk penyelesaian permasalahan
dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan masalah sosial tawuran antar
pelajar sekolah dalam dunia kependidikan. Selain itu untuk menjadi sumber
kajian bagi peneliti lain yang berhubungan dengan bahasan makalah ini.
BAB II
PEMABAHASAN
A.
Hakekat
Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari
kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran,
pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan
mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional
Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk
generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian
pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan
tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar
supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara,
1977:14)
Dari etimologi
dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat
dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai
kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan
masyarakatnya.Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti.
Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena
manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan.
Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab
agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa
manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal
yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi.
Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada”
sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
B.
Tawuran Antar
Pelajar Sekolah
Tawuran menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkelahian
yang meliputi banyak orang. Sedangkan pelajar dapat diartikan seorang manusia
remaja yang belajar. Jadi tawuran antar pelajar sekolah dapat diartikan
perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut
dilakukan oleh pelajar antar sekolah. Secara psikologi tawuran antar pelajar
sekolah dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja.
Permasalahan tawuran kini telah meluas lingkupnya hingga
ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup kriminalitas. Hal ini karena
dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek beruntun ataupun efek
bersamaan. Efek yang ditimbulkan tersebut diantaranya adalah pemerasan,
penodongan, pembajakan angkutan umum hingga ke tindakan penculikan. Namun
sayangnya, tindakan ini masih dianggap sebagai deviance dalam masyarakat. Hal
ini terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan terhadap keinginan
atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang
dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat
termasuk dinamika, dan gejala-gejala yang terjadi di dalamnya yang dapat
ditangkap dan dianalisis. Tawuran pelajar sekolah menengah yang terus mengalami
perkembangan yang mengarah kepada tindakan kejahatan merupakan sebuah gejala
sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri sebabnya. Terdapat pendapat
yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh
setiap masyarakat. Kejahatan tidak mungkin dihilangkan, tetapi hanya dapat
dikurangi intensitas dan kualitasnya.
Sekalipun hanya
dikurangi, namun hingga kini belum ada upaya yang serius untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Akibatnya fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal
yang bersifat sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan. Mulai
dari kecemburuan sosial, primordialisme berlebihan, bahkan sampai ke pembalasan
dendam.
C.
Pelajar dan
Remaja
Pelajar adalah
seorang remaja yang belajar. Menurut Ali dan Asrori dalam Mulyana remaja
disebut adolescence, berasal dari bahas Latin adolescere yang artinya “tumbuh
atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bahasa primitif dan orang-orang
purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode
lain dalam rentang kehidupan. Anak sudah dianggap dewasa apabila sudah mampu
mengadakan reproduksi.
Perkembangan
lebih lanjut, istilah adolescence sesunguhnya memilki arti yang luas, mencakup
kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget
dalam Mulyana yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia
dimana individu menjadi terintegrasi ke masayrakat dewasa, suatu usia di mana
anak tidaka merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua
melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masayarakat dewasa
ini mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang dari usia pubertas.
Menurut Hurlock
dalam Mulyana (2013) rentang masa usia remaja antara 13-21 tahun, yang juga
dibagai dalam masa remaja awal, anatara uisa 13/14 samapai 17 tahun, dan masa
remaja akhir 17 samapi 21 tahun.
Masa remaja
adalah sebagai masa yang mempunyai minat dan keinginan yang sanagt tinggi
terhdap sesuatu. Baik minat akan pakain, kendaraan, akan perhatian, dan lain
sebagainya. Apabila minat dan keinginan tersebut tidak terpenuhi, maka akan
terjadi perlawanan dari dirirnya sebagai bentuk pelampiasan dari tidak
terpenuhi minat dan keinginan tersebut.
D.
Perkembangan
Sosial Remaja
Perkembangan
sosial pada masa remaja merupakan puncak dari perkembangan sosial dari
fase-fase perkembangan. Bahkan, terkadang, perkembangan sosial remaja lebih
mementingkan kehidupan sosialnya di luar dari pada ikatan sosialnya dalam
keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat
perhatian. Lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.
E.
Faktor Penyebab
Terjadinya Tawuran Antar Pelajar Sekolah
Menurut Wilnes
dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi
menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif adalah
faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa
sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar
(lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua
dan anak yang tidak serasi (Risfaisal http://sosbud.kompasiana.com).
Meneurut Sander
Diki Zulkarnaen dalam Mulyana (2011) dalam pandangan psikologi, setiap perilaku
merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut
kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam
hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1.
Faktor internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu
melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini
berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua
rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini
biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2.
Faktor keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang
tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat
remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal
yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang
terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang
tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu
bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total
terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.
Faktor sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang
harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus
dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru
jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik”
siswanya.
4.
Faktor lingkungan
Lingkungan di
antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak
terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan
kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu
pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga
lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat
merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi
emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
F.
Analisis Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menurut Teori
Sosiologi
Tawuran antar
pelajar sekolah merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah
dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada
pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari
pelajar yang menginjak usia remaja. Realita tawuran antar pelajar sering
terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban
yang lebih maju.
Kerugian yang
disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi
juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut.
Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap ulah pelajar remaja. Keresahan
tersebut akan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang
seharusnya menjadi agen perubahan bangsa. Ada pula anggapan yang menyatakan
bahwa prosedur pendidikan di Indonesia juga berpengaruh terhadap konflik yang
marak terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan seorang
pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah.
Kurikulum tersebut cenderung mengeksploitasi kemampuan berpikir dari pelajar.
Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada
sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial
tersebut dan bersifat deviance.
Pendidikan
sebenarnya hanyalah sekumpulan konsep dari rumus, teori, ujian, dan tidak lebih
dari itu. Hal tersebut tidak dapat ditawar oleh pelajar dan akhirnya
menciptakan kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian
muncul ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank ataupun sejenisnya,
sehingga mendorong sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik
menunjukkan ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif remaja tersebut.
Wajib belajar 12 tahun telah berhasil mewujudkan sikap kolektivitas di kalangan
remaja. Kolektivitas inilah yang pada akhirnya menjadikan sikap altruisme di
kalangan remaja dan membentuk kelompok-kelompok. Pada kelompok-kelompok ini
tawuran bisa terjadi oleh faktor spontanitas kolektif untuk membela ikatan
mereka ataupun paksaan dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut
oleh rekan-rekannya dalam lingkungan tersebut. Tidak jarang anggota kelompok
yang lainnya memancing tawuran dengan alasan membalaskan dendam anggota
kelompoknya.
Di sisi
bersamaan, dalam melakukan tawuran biasanya para pelaku tawuran membutuhkan
perlengkapan ataupun fasilitas yang lainnya. Tidak jarang mereka membajak
angkutan umum untuk mobilitas mereka ke tempat mereka akan melakukan tawuran.
Berikut
analisis terjadinya tawuran berdasarkan teori – teori sosiologi dan ahlinya :
1.
Emile Durkheim
Menurut seorang sosiolog, Emille Durkheim, tindakan para
pelajar dalam tawuran merupakan perilaku menyimpang atau deviance. Faktor
penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga diperlukan analisis dengan
perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya rekonsiliasi yang mampu
mengamodasi permasalahan tersebut.
2.
Karl Marx
Tawuran antar pelajar sekolah merupakan sebuah konflik
dan masalah sosial yang dapat kita analisi berdasarkan teori konflik kelas
Marx. Setiap sekolah pasti ingin menjadi sebuah sekolah yang memiliki derajat
yang paling tinggi di banding sekolah lain. Genk atau kelompok yang terbentuk
dalam sekolah tertentu akan memiliki perasaan dan pandangan bahwa mereka lebih
baik dan ingin mengusasi kelompok pelajar sekolah lain.
Sementara bagi kelompok pelajar dari sekolah tertentu
yang memiliki derajat lebih rendah, akan berusaha menunjukkan kemampuannya
untuk mengakahkan sekolah yang dianggap mengusai mereka. Jika terjadi suatu
konflik baik bersifat makro atau mikro diantara kelompok pelajar kedua sekolah
tersebut, maka akan terjadi tawuran antar kedua kelompok pelajar tersebut. Hal
ini dikarenakan situasi kelompok yang di kuasai sudah tidak sanggup untuk
diredam. Faktor yang sepele pun bisa menjadi alasan untuk melakukan tawuran,
seperti kecemburuan sosial diantara anggota kelompok sekolah yang satu dengan
yang lainnya.
3.
Lewis Coser
Konflik tawuran yang terjadi bila hubungkan dengan teori
Lewis Coser yaitu konflik sebagai
mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif atau
fungsi positif dalam masyarakat. Dengan kata lain tawuran yang terjadi tidak
hanya memberikan hal-hal negatif terhadap masyarakat, tetapi hal positif dalam
situasi tertentu dan kepada siapa positif itu di terima. Tipe konflik dari
konflik realitas sumber dari tawuran bisa dari asal usul, sesuatu yang
diunggulkan dari siswa, dengan mencemooh, kualitas sekolah. Konflik non
realistis sebab tawuran yaitu sumbernya dari ke tidak rasional, ideologis siswa
tawuran seperti masalah harga diri, dendam. Selanjutnya konflik eksternal
dengan adanya tawuran menciptakan dan mempererat identitas kelompok, meningkatkan
partisipasi anggota terhadap pengorganisasian kelompok, perhatian orang tua dan
guru dalam mendidik siswa - siswinya. Teori internal dengan memberikan koreksi
pada perilaku tawuran anggota kelompok.
Dengan adanya tawuran konflik tersebut bisa diselesaikan
dengan berbagai cara yaitu dengan konsiliasi yaitu dari pihak tawuran di selesaikan di lembaga tertentu sehingga
memperoleh solusi atas masalahnya. Mediasi yaitu dengan melalui jasa perantara
yang bersikap netral sehingga perantara tersebut mempertemukan dan mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Arbitrase yaitu penyelesaian tawuran bisa melalui pihak
ketiga dengan membuat keputusan-keputusan berdasarkan ketentuan atau aturan
yang telah di tetapkan. Adjudication yaitu penyelesaian perkara di meja hijau.
Atau dengan Stalemate yaitu tawuran yang berhenti sendirinya. Dan dapat di
cegah dengan menumbuhkan rasa toleransi
terhadap setiap orang dan pendidikan agama serta moral terhadap siswa sekolah di usia dini hingga
dewasa.
G.
Solusi Mencegah
Tawuran Antar Pelajar Sekolah Dalam Kaitannya Dengan Pemanfaatan Teknologi
Dalam Pendidikan
Teknologi
diharapkan mempengaruhi peningkatan motivasi, menguatkan pengajaran,
meningkatkan lingkungan psikologi di dalam kelas agar tidak terjadi tawuran
antar pelajar sekolah maka dapat dicegah melaui peran serta semua pihak seperti
berikut ini.
1.
Lingkungan
keluarga
Orang tua harus memperhatikan apa yang di tonton, dan
dimainkan anak lewat game. Perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh model-model
yang disajikan lewat media masa berupa televisi, tindak kekerasan dan perkelahi
akan cepet ditiru oleh remja. Dipengaruhi oleh agresifitas model dalam game
yang mereka mainkan. Oleh karena itu orang tua harus mampu membatasi remaja
dalam menonton TV yang menontonkan kekersan atau memainkan game yang dapat
menigkatkan agresifitas mereka. Orang tua harus menjadai model yang baik bagi
anak-anaknya. Perilaku dari orang tua
harus bisa ditiru dan dicontoh oleh anak-anaknya, sehingga dia punya model yang
baik dalam hidupnya berupa ayah dan ibunya. Dari segi identitas diri, orang tua
harus bisa memahami keinginan remaja. Mereka tidak bisa dikekang sekehendak
orang tua, tetapi harus diarahkan dengan bimbingan dari orang tua agar tidak
timbul kekacauan identitas yang dilmpiaskan dengan kenakalan berupa tawuran.
2.
Lingkungan
sekolah
Untuk mecegah tawuran anatar pelaja, sekolah harus mampu
megakomodasi bakat-bakat dan keahlian yang dimilki oleh anak didik. Menyediakan
kegiatan ekstra kulikuler yang bermanfaat bagi anak didiknya. Tidak ada waktu
yang terbuang percuma, hanya untuk tawuran. Fasilitas dan sarana yang mendukung
untuk menciptakan dan menyalurkan bakat-bakat anak didik harus disediakan
dengan memadai, sehingga perilaku mereka dapat tersalurkan ke hal-hal yang
positif.
Di sekolah juga, guru harus menjadi model dan contoh yang
baik bagi peserta didiknya. Guru dan dewan sekolah harus menberikan perilaku
yang baik bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik tidak mencari model di
luar yang tidak patut ditiru dalam perilakunya.
3.
Memberikan
hukuman
Upaya lainnya yang dapat dalkukan untuk mencegah tawuran
adalah dengan memberikan hukuman dan sanksi yang membuat efek jera terhadap
perilaku tawuran. Para penegak hukum harus tegas dalam memberikan hukuman dan
sanksi terhdap perilaku tawuran. Meskipun terkadang upaya ini tidak efektif,
buktinya hukuman dan sanksi ada tetapi tawuran masih terus meralajalela
dikalangan pelajar. Setidaknya penerapan hukuman dan sanksi yang tegas dapat
mengurangi perilaku tawuran dari pelajar.
Sedangkan
menurut Panuju dan Umami (1999:164) tindakan yang dapat dilkukan untuk
mengatasi kenakalan renmaja seperti tawuran adalah:
1.
Tindakan Preventif
a.
Usaha pencegahan timbulnya kenakalan remaja secara umum :
1)
Mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas remaja
2)
Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami
oleh para remaja. Kesulitan-kesulitan manakah yang biasanya menjadi sebab
timbulnya penyaluran dalam bentuk kenakalan
b.
Usaha pembinaan remaja:
1)
Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya.
2)
Memberikan pendidikan bukan hanya dalam penambahan
pengetahuan dan keterampilan melainkan pendidikan mental dan pribadi melalui
pengajaran agama, budi pekerti, dan etiket.
3)
Menyediakan sarana-sarana dan meciptakan suasana yang optimal
demi perkembangan pribadi yang wajar.
4)
Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan
sosial keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak kenakalan remaja.
c.
Usaha pencegahan kenakalan remaja secara khusus.
Dilakukan oleh para pendidik terhadap kelainan tingkah laku
para remaja. Pendidikan mental di sekolah dilakukan oleh guru, guru pembimbing,
dan psikolog sekolah bersama dengan para pendidik lainnya. Sarana pendidikan
lainya mengambil peranan penting dalam pembentukan pribadi yang wajar dengan
mental yang sehat dan kuat. Misalnya kepramukaan, dan yang lainnya. Usaha
pendidik harus diarahkan terhadap remaja dengan mengamati, memberikan perhatian
khusus dan mengawasi setiap penyimpangan tingkah laku remaja di rumah dan di
sekolah.
2.
Tindakan Represif
Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral
dapat dilakukan dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan
pelanggaran.
a.
Rumah, remaja harus mentaati peraturan dan tata cara yang
berlaku. Disamping itu perlu adanya semacam hukuman yang dibuat oleh orangtua
terhadap pelanggaran tata tertib dan tata cara keluarga. Pelaksanaan tata
tertib harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran yang sama harus
dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota keluarga mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.
b.
Di sekolah, kepala sekolahlah yang berwenang dalam
pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Dalam beberapa
hal guru juga berhak bertindak. Akan tetapi hukuman yang berat seperti skorsing
maupun pengeluaran dari sekolah merupakan wewenang kepala sekolah. Guru dan
staf pembimbing bertugas menyam-paikan data mengenai pelanggaran dan
kemungkinan-kemungkinan pelanggaran maupun akibatnya. Pada umumnya tindakan
represif diberikan diberikan dalam bentuk memberikan peringatan secara lisan
maupun tertulis kepada pelajar dan orang tua, melakukan pengawasan khusus oleh
kepala sekolah dan team guru atau pembimbing dan melarang bersekolah untuk
sementara atau seterusnya tergantung dari macam pelanggaran tata tertib sekolah
yang digariskan.
3.
Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi
Dilakukan
setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah
tingkahlaku si pelanggar remaja itu dengan memberikan pendidikan lagi.
Pendidikan diulangi melalui pembinaan secara khusus, hal mana sering
ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli dalam bidang ini.
Berikut secara singkat hal yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya tawuran antar pelajar sekolah :
1.
Membuat peraturan sekolah yang lebih tegas. Peraturan itu
harus membuat pelajar takut untuk melanggarnya dan yang penting peraturan yang
dibuat harus benar-benar di terapkan.
2.
Memberikan perhatian dan pengawasan dari pihak keluarga.
3.
Memberi pendidikan anti tawuran, dan menjelaskan dampak
dari tawuran itu.
4.
Sekolah mengadakan kalaborasi belajar antar sekolah dan
membuat kegiatan-kegiatan yang menarik serta bermanfaat tentunya.
5.
Menerapakan ajaran agama.
Selain itu pemerintah dan masyarakat juga harus turut berperan. Beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintah dan Masyarakat
adalah:
- Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti,
- Menyediakan sarana/prasarana untuk menyalurkan agresifitas anak melalui olah raga dan bermain,
- Menegakkan hukum, sanksi dan disiplin yang tegas,
- Memberikan keteladanan, hentikan pertikaian,
- Menanggulangi NAPZA, terapkan peraturan dan hukumnya,
- Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan atau pusat hiburan.
Media juga sangat diperlukan dalam mencegah dan mengatasai masalah
tawuran ini. Peran yang dapat dilakukan Media adalah:
- Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesuai tingkat usia),
- Sampaikan berita dengan kalimat yang benar dan tepat (tidak provokatif),
- Rubrik khusus media masa (cetak, elektronik) bagi remaja dan pendidikan yang bebas biaya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tawuran antar pelajar sekolah merupakan salah satu
masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini
merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan
masyarakat di Indonesia. Faktor penyebab
tawuran yaitu Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu
sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif
adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Sedangkan secara psikologis
faktor penyebabnya yaitu faktor internal, keluarga, sekolah dan lingkungan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintah dan Masyarakat untuk mencegah dan menagatasi tawuran antar
pelajar adalah:
- Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti,
- Menyediakan sarana/prasarana untuk menyalurkan agresifitas anak melalui olah raga dan bermain,
- Menegakkan hukum, sanksi dan disiplin yang tegas,
- Memberikan keteladanan, hentikan pertikaian,
- Menanggulangi NAPZA, terapkan peraturan dan hukumnya,
- Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan atau pusat hiburan.
Media juga sangat diperlukan dalam mencegah dan mengatasai masalah
tawuran ini. Peran yang dapat dilakukan Media adalah:
- Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesuai tingkat usia),
- Sampaikan berita dengan kalimat yang benar dan tepat (tidak provokatif),
- Rubrik khusus media masa (cetak, elektronik) bagi remaja dan pendidikan yang bebas biaya.
B. Saran
Agar tidak
terjadi tawuran antar pelajar lagi. Bakat yang dimiliki anak di salurkan kepada
hal – hal yang bersifat positif baik di sekolah dengan peran guru, maupun
dirumah dengan peran orang tua. Serta bagi pelajar Indonesia janganlah
melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, karena itu dapat
mencoreng identitas pelajar sebagai generasi penerus bangsa yang membawa
kemajuan, kemakmuran. Bagi pemerintah penegakan hukum yang lebih serius bagi
siapa pun termasuk pelajar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Abu.1991.Sosiologi Pendidikan. Jakarta: RinekaCipta
Dewi
S, Prawiradilaga dan Evelin Siregar. 2008. Mozaik Teknologi Pendidikan.
Jakarta : Kencana
S.
Wuradji, M. 1988. SosiologiPendidikan
.Jakarta: Depdikbud
Soekanto, Soerjono 2010. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada