Rabu, 29 Maret 2017

MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN


MASALAH TAWURAN ANTAR PELAJAR DI INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN TEORI SOSIOLOGI SERTA PENYELESAIANNYA DALAM PERSPEKTIF JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran guru sebagai sumber belajar merupakan peran yang sangat penting. Peran sebagai sumber belajar berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran. Kita bisa menilai baik atau tidaknya seorang guru hanya dari penguasaan materi pelajaran. Dikatakan guru yang baik manakala ia dapat menguasai materi pelajaran dengan baik, sehingga ia benar-benar berperan sebagai sumber belajar bagi anak didiknya. Apapun yang ditanyakan siswa yang berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang diajarkannya, ia akan bisa menjawab dengan penuh keyakinan. 
Sebaliknya, dikatakan guru yang kurang baik manakala ia tidak paham tentang materi yang diajarkannya. Ketidakpahaman tentang materi pelajaran biasanya ditunjukan dengan perilaku-perilaku tertentu, misalnya teknik penyampaian materi pelajaran yang monoton, ia lebih suka duduk dikursi sambil membaca, suaranya lemah, tidak berani melakukan kontak mata dengan siswa, miskin dengan ilustrasi dan masih banyak contoh yang lainnya. Perilaku guru yang demikian bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan pada diri siswa, sehingga guru akan sulit mengendalikan kelas.
Jika kejadian tersebut masih saja terjadi kepada para pendidik maka sudah barang tentu hasil yang diharapkan dari proses pembelajaran itu tidak akan tercapai.  Hal yang diperoleh bisa saja malah sebaliknya, para siswa menjadi malas belajar, bersifat arogan, berbuat kejahatan dan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Kejahatan yang dilakukan bisa mencuri, merampok dan yang paling sering terjadi akhir-akhir ini adalah tawuran antar pelajar
Tawuran Sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia, sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Berita tawuran antar pelajar sekolah sering menghiasi media massa. Tawuran antar pelajar sekolah maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan.
Tawuran antar pelajar merupakan fenomena sosial dan menjadi masalah sosial yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai masalah pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya dilihat dari sudut pandang sosiologis.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan tawuran antar pelajar ?
2.      Bagaimana  tawuran antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor penyebabnya ?
3.      Pandangan teori sosiologi terhadap masalah sosial tawuran antar pelajar sekolah ?
4.      Bagaimana solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran anatar pelajar?

C.    Tujuan Penulisan
Dari hasil identifikasi rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.      Apa yang dimaksud dengan tawuran, remaja atau pelajar.
2.      Bagaimana  tawuran antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor penyebabnya.
3.      Pandangan teori sosiologi terhadap masalah sosial tawuran antar pelajar sekolah.
4.      Solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran antar pelajar sekolah.

D.    Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memberi manfaat bagi masyarakat berupa pengetahuan untuk penyelesaian permasalahan dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan masalah sosial tawuran antar pelajar sekolah dalam dunia kependidikan. Selain itu untuk menjadi sumber kajian bagi peneliti lain yang berhubungan dengan bahasan makalah ini.









BAB II
PEMABAHASAN
A.    Hakekat Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
B.     Tawuran Antar Pelajar Sekolah
Tawuran menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan pelajar dapat diartikan seorang manusia remaja yang belajar. Jadi tawuran antar pelajar sekolah dapat diartikan perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh pelajar antar sekolah. Secara psikologi tawuran antar pelajar sekolah dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja.
Permasalahan tawuran kini telah meluas lingkupnya hingga ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup kriminalitas. Hal ini karena dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek beruntun ataupun efek bersamaan. Efek yang ditimbulkan tersebut diantaranya adalah pemerasan, penodongan, pembajakan angkutan umum hingga ke tindakan penculikan. Namun sayangnya, tindakan ini masih dianggap sebagai deviance dalam masyarakat. Hal ini terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan terhadap keinginan atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat termasuk dinamika, dan gejala-gejala yang terjadi di dalamnya yang dapat ditangkap dan dianalisis. Tawuran pelajar sekolah menengah yang terus mengalami perkembangan yang mengarah kepada tindakan kejahatan merupakan sebuah gejala sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri sebabnya. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat. Kejahatan tidak mungkin dihilangkan, tetapi hanya dapat dikurangi intensitas dan kualitasnya.
Sekalipun hanya dikurangi, namun hingga kini belum ada upaya yang serius untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal yang bersifat sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan. Mulai dari kecemburuan sosial, primordialisme berlebihan, bahkan sampai ke pembalasan dendam.
C.    Pelajar dan Remaja
Pelajar adalah seorang remaja yang belajar. Menurut Ali dan Asrori dalam Mulyana remaja disebut adolescence, berasal dari bahas Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bahasa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak sudah dianggap dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi.
Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesunguhnya memilki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget dalam Mulyana yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke masayrakat dewasa, suatu usia di mana anak tidaka merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masayarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang dari usia pubertas.
Menurut Hurlock dalam Mulyana (2013) rentang masa usia remaja antara 13-21 tahun, yang juga dibagai dalam masa remaja awal, anatara uisa 13/14 samapai 17 tahun, dan masa remaja akhir 17 samapi 21 tahun.
Masa remaja adalah sebagai masa yang mempunyai minat dan keinginan yang sanagt tinggi terhdap sesuatu. Baik minat akan pakain, kendaraan, akan perhatian, dan lain sebagainya. Apabila minat dan keinginan tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi perlawanan dari dirirnya sebagai bentuk pelampiasan dari tidak terpenuhi minat dan keinginan tersebut.
D.    Perkembangan Sosial Remaja
Perkembangan sosial pada masa remaja merupakan puncak dari perkembangan sosial dari fase-fase perkembangan. Bahkan, terkadang, perkembangan sosial remaja lebih mementingkan kehidupan sosialnya di luar dari pada ikatan sosialnya dalam keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat perhatian. Lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.
E.     Faktor Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar Sekolah
Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi (Risfaisal http://sosbud.kompasiana.com).
Meneurut Sander Diki Zulkarnaen dalam Mulyana (2011) dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1.      Faktor internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2.      Faktor keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.      Faktor sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.

4.      Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
F.     Analisis  Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menurut Teori Sosiologi
Tawuran antar pelajar sekolah merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Realita tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Kerugian yang disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut. Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap ulah pelajar remaja. Keresahan tersebut akan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan bangsa. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa prosedur pendidikan di Indonesia juga berpengaruh terhadap konflik yang marak terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan seorang pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Kurikulum tersebut cenderung mengeksploitasi kemampuan berpikir dari pelajar. Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial tersebut dan bersifat deviance.
Pendidikan sebenarnya hanyalah sekumpulan konsep dari rumus, teori, ujian, dan tidak lebih dari itu. Hal tersebut tidak dapat ditawar oleh pelajar dan akhirnya menciptakan kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian muncul ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank ataupun sejenisnya, sehingga mendorong sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik menunjukkan ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif remaja tersebut. Wajib belajar 12 tahun telah berhasil mewujudkan sikap kolektivitas di kalangan remaja. Kolektivitas inilah yang pada akhirnya menjadikan sikap altruisme di kalangan remaja dan membentuk kelompok-kelompok. Pada kelompok-kelompok ini tawuran bisa terjadi oleh faktor spontanitas kolektif untuk membela ikatan mereka ataupun paksaan dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut oleh rekan-rekannya dalam lingkungan tersebut. Tidak jarang anggota kelompok yang lainnya memancing tawuran dengan alasan membalaskan dendam anggota kelompoknya.
Di sisi bersamaan, dalam melakukan tawuran biasanya para pelaku tawuran membutuhkan perlengkapan ataupun fasilitas yang lainnya. Tidak jarang mereka membajak angkutan umum untuk mobilitas mereka ke tempat mereka akan melakukan tawuran.
Berikut analisis terjadinya tawuran berdasarkan teori – teori sosiologi dan ahlinya :
1.      Emile Durkheim
Menurut seorang sosiolog, Emille Durkheim, tindakan para pelajar dalam tawuran merupakan perilaku menyimpang atau deviance. Faktor penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga diperlukan analisis dengan perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya rekonsiliasi yang mampu mengamodasi permasalahan tersebut.


2.      Karl Marx
Tawuran antar pelajar sekolah merupakan sebuah konflik dan masalah sosial yang dapat kita analisi berdasarkan teori konflik kelas Marx. Setiap sekolah pasti ingin menjadi sebuah sekolah yang memiliki derajat yang paling tinggi di banding sekolah lain. Genk atau kelompok yang terbentuk dalam sekolah tertentu akan memiliki perasaan dan pandangan bahwa mereka lebih baik dan ingin mengusasi kelompok pelajar sekolah lain.
Sementara bagi kelompok pelajar dari sekolah tertentu yang memiliki derajat lebih rendah, akan berusaha menunjukkan kemampuannya untuk mengakahkan sekolah yang dianggap mengusai mereka. Jika terjadi suatu konflik baik bersifat makro atau mikro diantara kelompok pelajar kedua sekolah tersebut, maka akan terjadi tawuran antar kedua kelompok pelajar tersebut. Hal ini dikarenakan situasi kelompok yang di kuasai sudah tidak sanggup untuk diredam. Faktor yang sepele pun bisa menjadi alasan untuk melakukan tawuran, seperti kecemburuan sosial diantara anggota kelompok sekolah yang satu dengan yang lainnya.
3.      Lewis Coser
Konflik tawuran yang terjadi bila hubungkan dengan teori Lewis Coser yaitu  konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif atau fungsi positif dalam masyarakat. Dengan kata lain tawuran yang terjadi tidak hanya memberikan hal-hal negatif terhadap masyarakat, tetapi hal positif dalam situasi tertentu dan kepada siapa positif itu di terima. Tipe konflik dari konflik realitas sumber dari tawuran bisa dari asal usul, sesuatu yang diunggulkan dari siswa, dengan mencemooh, kualitas sekolah. Konflik non realistis sebab tawuran yaitu sumbernya dari ke tidak rasional, ideologis siswa tawuran seperti masalah harga diri, dendam. Selanjutnya konflik eksternal dengan adanya tawuran menciptakan dan mempererat identitas kelompok, meningkatkan partisipasi anggota terhadap pengorganisasian kelompok, perhatian orang tua dan guru dalam mendidik siswa - siswinya. Teori internal dengan memberikan koreksi pada perilaku tawuran anggota kelompok.
Dengan  adanya tawuran konflik tersebut bisa diselesaikan dengan berbagai cara yaitu dengan konsiliasi yaitu dari pihak tawuran  di selesaikan di lembaga tertentu sehingga memperoleh solusi atas masalahnya. Mediasi yaitu dengan melalui jasa perantara yang bersikap netral sehingga perantara tersebut mempertemukan dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Arbitrase  yaitu penyelesaian tawuran bisa melalui pihak ketiga dengan membuat keputusan-keputusan berdasarkan ketentuan atau aturan yang telah di tetapkan. Adjudication yaitu penyelesaian perkara di meja hijau. Atau dengan Stalemate yaitu tawuran yang berhenti sendirinya. Dan dapat di cegah  dengan menumbuhkan rasa toleransi terhadap setiap orang dan pendidikan agama serta moral  terhadap siswa sekolah di usia dini hingga dewasa.
G.    Solusi Mencegah Tawuran Antar Pelajar Sekolah Dalam Kaitannya Dengan Pemanfaatan Teknologi Dalam Pendidikan
Teknologi diharapkan mempengaruhi peningkatan motivasi, menguatkan pengajaran, meningkatkan lingkungan psikologi di dalam kelas agar tidak terjadi tawuran antar pelajar sekolah maka dapat dicegah melaui peran serta semua pihak seperti berikut ini.
1.      Lingkungan keluarga
Orang tua harus memperhatikan apa yang di tonton, dan dimainkan anak lewat game. Perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh model-model yang disajikan lewat media masa berupa televisi, tindak kekerasan dan perkelahi akan cepet ditiru oleh remja. Dipengaruhi oleh agresifitas model dalam game yang mereka mainkan. Oleh karena itu orang tua harus mampu membatasi remaja dalam menonton TV yang menontonkan kekersan atau memainkan game yang dapat menigkatkan agresifitas mereka. Orang tua harus menjadai model yang baik bagi anak-anaknya.  Perilaku dari orang tua harus bisa ditiru dan dicontoh oleh anak-anaknya, sehingga dia punya model yang baik dalam hidupnya berupa ayah dan ibunya. Dari segi identitas diri, orang tua harus bisa memahami keinginan remaja. Mereka tidak bisa dikekang sekehendak orang tua, tetapi harus diarahkan dengan bimbingan dari orang tua agar tidak timbul kekacauan identitas yang dilmpiaskan dengan kenakalan berupa tawuran.
2.      Lingkungan sekolah
Untuk mecegah tawuran anatar pelaja, sekolah harus mampu megakomodasi bakat-bakat dan keahlian yang dimilki oleh anak didik. Menyediakan kegiatan ekstra kulikuler yang bermanfaat bagi anak didiknya. Tidak ada waktu yang terbuang percuma, hanya untuk tawuran. Fasilitas dan sarana yang mendukung untuk menciptakan dan menyalurkan bakat-bakat anak didik harus disediakan dengan memadai, sehingga perilaku mereka dapat tersalurkan ke hal-hal yang positif.
Di sekolah juga, guru harus menjadi model dan contoh yang baik bagi peserta didiknya. Guru dan dewan sekolah harus menberikan perilaku yang baik bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik tidak mencari model di luar yang tidak patut ditiru dalam perilakunya.
3.      Memberikan hukuman
Upaya lainnya yang dapat dalkukan untuk mencegah tawuran adalah dengan memberikan hukuman dan sanksi yang membuat efek jera terhadap perilaku tawuran. Para penegak hukum harus tegas dalam memberikan hukuman dan sanksi terhdap perilaku tawuran. Meskipun terkadang upaya ini tidak efektif, buktinya hukuman dan sanksi ada tetapi tawuran masih terus meralajalela dikalangan pelajar. Setidaknya penerapan hukuman dan sanksi yang tegas dapat mengurangi perilaku tawuran dari pelajar.


Sedangkan menurut Panuju dan Umami (1999:164) tindakan yang dapat dilkukan untuk mengatasi kenakalan renmaja seperti tawuran adalah:
1.      Tindakan Preventif
a.       Usaha pencegahan timbulnya kenakalan remaja secara umum :
1)      Mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas remaja
2)      Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh para remaja. Kesulitan-kesulitan manakah yang biasanya menjadi sebab timbulnya penyaluran dalam bentuk kenakalan
  
b.      Usaha pembinaan remaja:
1)      Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
2)      Memberikan pendidikan bukan hanya dalam penambahan pengetahuan dan keterampilan melainkan pendidikan mental dan pribadi melalui pengajaran agama, budi pekerti, dan etiket.
3)      Menyediakan sarana-sarana dan meciptakan suasana yang optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.
4)      Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan sosial keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak kenakalan remaja.

c.       Usaha pencegahan kenakalan remaja secara khusus.
Dilakukan oleh para pendidik terhadap kelainan tingkah laku para remaja. Pendidikan mental di sekolah dilakukan oleh guru, guru pembimbing, dan psikolog sekolah bersama dengan para pendidik lainnya. Sarana pendidikan lainya mengambil peranan penting dalam pembentukan pribadi yang wajar dengan mental yang sehat dan kuat. Misalnya kepramukaan, dan yang lainnya. Usaha pendidik harus diarahkan terhadap remaja dengan mengamati, memberikan perhatian khusus dan mengawasi setiap penyimpangan tingkah laku remaja di rumah dan di sekolah.
2.      Tindakan Represif
Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran.
a.       Rumah, remaja harus mentaati peraturan dan tata cara yang berlaku. Disamping itu perlu adanya semacam hukuman yang dibuat oleh orangtua terhadap pelanggaran tata tertib dan tata cara keluarga. Pelaksanaan tata tertib harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran yang sama harus dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota keluarga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.
b.      Di sekolah, kepala sekolahlah yang berwenang dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Dalam beberapa hal guru juga berhak bertindak. Akan tetapi hukuman yang berat seperti skorsing maupun pengeluaran dari sekolah merupakan wewenang kepala sekolah. Guru dan staf pembimbing bertugas menyam-paikan data mengenai pelanggaran dan kemungkinan-kemungkinan pelanggaran maupun akibatnya. Pada umumnya tindakan represif diberikan diberikan dalam bentuk memberikan peringatan secara lisan maupun tertulis kepada pelajar dan orang tua, melakukan pengawasan khusus oleh kepala sekolah dan team guru atau pembimbing dan melarang bersekolah untuk sementara atau seterusnya tergantung dari macam pelanggaran tata tertib sekolah yang digariskan.
 3.      Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi
Dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah tingkahlaku si pelanggar remaja itu dengan memberikan pendidikan lagi. Pendidikan diulangi melalui pembinaan secara khusus, hal mana sering ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli dalam bidang ini.
Berikut secara singkat hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tawuran antar pelajar sekolah :
1.      Membuat peraturan sekolah yang lebih tegas. Peraturan itu harus membuat pelajar takut untuk melanggarnya dan yang penting peraturan yang dibuat harus benar-benar di terapkan.
2.      Memberikan perhatian dan pengawasan dari pihak keluarga.
3.      Memberi pendidikan anti tawuran, dan menjelaskan dampak dari tawuran itu.
4.      Sekolah mengadakan kalaborasi belajar antar sekolah dan membuat kegiatan-kegiatan yang menarik serta bermanfaat tentunya.
5.      Menerapakan ajaran agama.
Selain itu pemerintah dan masyarakat juga harus turut berperan. Beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintah dan Masyarakat adalah:
  1. Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti,
  2. Menyediakan sarana/prasarana untuk menyalurkan agresifitas anak melalui olah raga dan bermain,
  3. Menegakkan hukum, sanksi dan disiplin yang tegas,
  4. Memberikan keteladanan, hentikan pertikaian,
  5. Menanggulangi NAPZA, terapkan peraturan dan hukumnya,
  6. Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan atau pusat hiburan.
Media juga sangat diperlukan dalam mencegah dan mengatasai masalah tawuran ini. Peran yang dapat dilakukan Media adalah:
  1. Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesuai tingkat usia),
  2. Sampaikan berita dengan kalimat yang benar dan tepat (tidak provokatif),
  3. Rubrik khusus media masa (cetak, elektronik) bagi remaja dan pendidikan yang bebas biaya.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tawuran antar pelajar sekolah merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Faktor  penyebab tawuran yaitu Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Sedangkan secara psikologis faktor penyebabnya yaitu faktor internal, keluarga, sekolah dan lingkungan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintah dan Masyarakat untuk mencegah dan menagatasi tawuran antar pelajar adalah:
  1. Menghidupkan kembali kurikulum budi pekerti,
  2. Menyediakan sarana/prasarana untuk menyalurkan agresifitas anak melalui olah raga dan bermain,
  3. Menegakkan hukum, sanksi dan disiplin yang tegas,
  4. Memberikan keteladanan, hentikan pertikaian,
  5. Menanggulangi NAPZA, terapkan peraturan dan hukumnya,
  6. Lokasi sekolah dijauhkan dari pusat perbelanjaan atau pusat hiburan.
Media juga sangat diperlukan dalam mencegah dan mengatasai masalah tawuran ini. Peran yang dapat dilakukan Media adalah:
  1. Sajikan tayangan atau berita tanpa kekerasan (jam tayang sesuai tingkat usia),
  2. Sampaikan berita dengan kalimat yang benar dan tepat (tidak provokatif),
  3. Rubrik khusus media masa (cetak, elektronik) bagi remaja dan pendidikan yang bebas biaya.

B. Saran
Agar tidak terjadi tawuran antar pelajar lagi. Bakat yang dimiliki anak di salurkan kepada hal – hal yang bersifat positif baik di sekolah dengan peran guru, maupun dirumah dengan peran orang tua. Serta bagi pelajar Indonesia janganlah melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, karena itu dapat mencoreng identitas pelajar sebagai generasi penerus bangsa yang membawa kemajuan, kemakmuran. Bagi pemerintah penegakan hukum yang lebih serius bagi siapa pun termasuk pelajar.


 
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu.1991.Sosiologi Pendidikan. Jakarta: RinekaCipta
Dewi S, Prawiradilaga dan Evelin Siregar. 2008. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
S. Wuradji, M. 1988. SosiologiPendidikan .Jakarta: Depdikbud
Soekanto, Soerjono 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada














KULIAH MIKRO TEACHING (Keterampilan Menjelaskan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pengajaran yang dilakukan oleh lembaga pendidikan mengharapkan agar dapat men...